Minggu, 19 Mei 2013

Hakikat Asma' Allah

Pembuktian asma' Allah yang lima (Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-
Rahim dan Al-Malik), dilandaskan kepada dua dasar:
Dasar Pertama:
Asma' Allah menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Asma' ini
merupakan sifat, yang semuanya baik, husna. Sebab jika asma' itu hanya
sekedar lafazh yang tidak mempunyai makna apa pun, maka ia tidak bisa
disebut husna dan tidak menunjukkan kesempurnaan, lalu akan terjadi
kerancuan antara dendam dan marah yang menyertai rahmat dan ihsan,
sehingga kalau berdoa kita harus mengucapkan, "Ya Allah, sesungguh-nya
aku menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah aku karena Engkau
pendendam". Penafian makna Asma'ul-husna termasuk kufur yang terbesar.
Jika Allah mensifati Diri-Nya Al-Qawiyyu, berarti memang Dia benarbenar
mempunyai kekuatan. Begitu pula sifat-sifat lainnya.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
beliau bersabda,
􀏞􀏤􀏋 􀏪􀏴􀏟􀎇 􀏊􀏓􀎮􀏳 􀏪􀏌􀏓􀎮􀏳􀏭 􀏂􀎴􀏘􀏟􀎍􀎾􀏔􀎨􀏳 􀏡􀎎􀏨􀏳 􀏥􀎃 􀏪􀏟 􀏲􀏐􀎒􀏨􀏳 􀏻􀏭 􀏡􀎎􀏨􀏳 􀏻 􀍿􀎍 􀏥􀎇
􀎖􀏗􀎮􀎣􀏷 􀏪􀏔􀎸􀏛 􀏮􀏟 􀎭􀏮􀏨􀏟􀎍 􀏪􀎑􀎎􀎠􀎣 􀏞􀏴􀏠􀏟􀎍 􀏞􀎒􀏗 􀎭􀎎􀏬􀏨􀏟􀎍 􀏞􀏤􀏋􀏭 􀎭􀎎􀏬􀏨􀏟􀎍 􀏞􀎒􀏗 􀏞􀏴􀏠􀏟􀎍
.􀏪􀏘􀏠􀎧 􀏦􀏣 􀏩􀎮􀎼􀎑 􀏪􀏴􀏟􀎇 􀏰􀏬􀎘􀏧􀎍 􀎎􀏣 􀏪􀏬􀎟􀏭 􀎕􀎎􀎤􀎒􀎳
"Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak seharusnya Dia tidur. Dia
merendahkan timbangan dan meninggikannya. Amalpada malam hari
disampaikan kepada-Nya sebelum siang hari, dan amal slang hari disampaikan
kepada-Nya sebelum malam hari. Hijab-Nya adalah cahaya,
yang andaikan hijab ini disingkap, maka kemuliaan Wajah-Nya benar-
benar membakar pandangan makhluk yang memandang-Nya."
Menafikan makna asma'-Nya juga termasuk kufur yang paling besar.
Gambaran kufur lainnya adalah menamakan berhala dengan asma'
Allah, sebagaimana mereka menamakannya alihah (sesembahan). Ibnu
Abbas dan Mujahid berkata, "Mereka mengambil asma' Allah lalu menamakan
berhala-berhala mereka dengan asma'-Nya, dengan sedikit mengurangi
atau menambahi. Mereka mengambil nama Lata dari Allah, Uzza
dari Al-Aziz, Manat dari Al-Mannan."
Dasar Kedua:
Satu dari berbagai asma' Allah, di samping menunjukkan kepada
Dzat dan sifat yang disesuaikan dengannya, maka ia juga menunjukkan
dua bukti lainnya yang sifatnya kandungan dan keharusan. As-Sami'
menunjukkan kepada Dzat Allah dan pendengaran-Nya, juga kepada Dzat
semata dan kepada pendengaran yang menjadi kandungannya. Begitu pula
sifat-sifat lainnya.
Jika sudah ada kejelasan tentang dua dasar ini, maka asma' Allah
menunjukkan kepada keseluruhan Asma'ul-husna dan sifat-sifat yang
tinggi. Hal ini menunjukkan kepada Ilahiyah-Nya, dengan penafian kebalikannya.
Maksud sifat-sifat Ilahiyah adalah sifat-sifat kesempurnaan, yang
terlepas dari penyerupaan dan permisalan, aib dan kekurangan. Karena
Allah menambahkan semua Asma'ul-husna ke asma'-Nya yang agung ini
(Allah).
Asma' "Allah" layak untuk semua makna Asma'ul-husna dan menunjukkan
kepadanya secara global. Sedangkan Asma'ul-husna itu sendiri
merupakan rincian dari sifat-sifat Ilahiyah yang berasal dari asma'"Allah".
Asma' "Allah" menunjukkan keadaan-Nya sebagai Dzat yang disembah.
Semua makhluk menyembah-Nya dengan penuh rasa cinta, pengagungan
dan ketundukan. Hal ini mengharuskan adanya kesempurnaan Rububiyah
dan rahmat-Nya, yang juga mencakup kesempurnaan kekuasaan dan puji-
Nya.
Sifat keagungan dan keindahan lebih dikhususkan untuk nama
"Allah". Perbuatan, kekuasaan, kesendirian-Nya dalam memberi manfaat
dan mudharat, memberi dan menahan, kehendak, kesempumaan kekuatan
dan penanganan urusan makhluk, lebih dikhususkan untuk nama " Ar-
Rabb". Sifat ihsan, murah hati, pemberi dan lemah lembut lebih dikhususkan
untuk nama "Ar-Rahman". Masing-masing disesuaikan dengan kaitan sifat.
Ar-Rahman artinya yang memiliki sifat rahmat. Sedang-kan Ar-Rahim
adalahyang mengasihi hamba-hamba-Nya. Karena itu dik-takan dalam firman-
Nya, "Dia Ar-Rahim (Maha Pengasih) terhadap hamba-hamba-Nya", dan
tidak dikatakan, "Ar-Rahman (yang memiliki sifat rahmat) terhadap
hamba-hamba-Nya".
Perhatikanlah kaitan penciptaan dan urusan dengan tiga asma' ini,
yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman, yang dari tiga asma' ini ada penciptaan,
urusan, pahala dan siksa, bagaimana makhluk dihimpunkan dan
dipisah-pisahkan.
Asma' Ar-Rabb memiliki cakupan yang menyeluruh terhadap semua
makhluk. Dengan kata lain, Dia adalah pemilik segala sesuatu dan
penciptanya, yang berkuasa terhadapnya dan tidak ada sesuatu pun yang
keluar dari Rububiyah-Nya. Siapa pun yang ada di langit dan bumi merupakan
hamba-Nya, ada dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Mereka
berhimpun berdasarkan sifat Rububiyah dan berpisah dengan sifat Ilahiyah.
Hanya Dialah yang disembah, kepada-Nya mereka tunduk, bahwa
Dialah Allah yang tidak ada sesembahan selain-Nya. Ibadah, tawakal,
berharap, takut, mencintai, pasrah, tunduk tidak boleh diperuntukkan
kecuali bagi-Nya semata.
Berangkat dari sinilah manusia terbagi menjadi dua golongan: Golongan
orang-orang musyrik yang berada di neraka, dan golongan orangorang
muwahhidin yang berada di surga. Yang membuat mereka terpi-sah
adalah Ilahiyah, sedangkan Rububiyah membuat mereka bersatu. Agama,
syariat, perintah dan larangan berasal dari sifat Ilahiyah. Penciptaan,
pengadaan, penanganan urusan dan perbuatan berasal dari sifat Rububiyah.
Pahala, balasan, siksa, surga dan neraka berasal dari sifat Al-Malik. Artinya,
Dialah yang menguasai hari pembalasan. Dia memerin-tahkan mereka
berdasarkan Ilahiyah-Nya, menunjuki dan menyesatkan mereka berdasarkan
Rububiyah-Nya, memberi pahala dan siksa berdasarkan kekuasaan dan
keadilan-Nya. Setiap masalah ini tidak bisa dipisah-kan dari yang lain.
Disebutkannya asma'-asma' ini setelah al-hamdu (pujian) dan pengaitan
al-hamdu dengan segala cakupannya, menunjukkan bahwa memang
Dia adalah yang terpuji dalam Ilahiyah-Nya, terpuji dalam Rububiyah-
Nya, terpuji dalam Rahmaniyah-Nya, terpuji dalam kekuasaan-Nya, Dia
adalah sesembahan yang terpuji, ilah dan Rabb yang terpuji, Rahman yang
terpuji, Malik yang terpuji. Dengan begitu Dia memiliki seluruh
kesempumaan; kesempumaan dalam asma' Allah secara sendirian dan
kesempumaan dalam asma'-asma' lainnya secara sendirian serta kesempumaan
dalam penyertaan satu asma' dengan asma' lain. Karena itu sering
disebutkan dua asma' secara berurutan, seperti: Wallahu ghaniyyun hamid,
-wallahu alimun hakim, wallahu ghafurur rahim. Al-Ghaniyyu merupakan
sifat kesempurnaan dan Al-Hamid merupakan sifat kesempurnaan
pula. Penyertaan dua asma' ini merupakan kesempurnaan-Nya, begitu
pula penyertaan sifat-sifat yang lain.
Tingkatan-tingkatan Hidayah Khusus dan Umum
Tingkatan Pertama:
Tingkatan pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan
langsung tanpa perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling
tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah
befirman,
􀋱􀎎􀏤􀏴􀋶􀏠􀋸􀏜􀋴􀎗 􀏰􀎳􀋴 􀏮􀏣􀋵 􀋵􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍 􀋴􀏢􀍉􀏠􀋴􀏛􀋴􀏭
"Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung." (An-Nisa':
164).
Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan kepada
Nuh dan para nabi sesudahnya, kemudian mengkhususkan Musa, bahwa
Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini
lebih khusus dari sekedar memberikan wahyu seperti yang disebutkan
dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan adanya mashdar
dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah pendapat jahmiyah, Mu'-
tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa itu artinya
wahyu atau isyarat atau pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya
bukan bicara secara langsung. Al-Fara' berkata, "Orang-orang Arab menye-but
kontak dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun dan
bagaimana pun. Tetapi makna ini tidak disertai dengan mashdar dari fi'il
yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar, berarti hakikatnya memang
bicara. Maka apabila dikatakan, "Fulan araada iraadatan", artinya Fulan
benar-benar menghendaki.
Ada firman Allah yang lain tentang hal ini,
􀏚􀋸􀏴􀋴􀏟􀋶􀎇 􀋸􀎮􀋵􀏈􀋸􀏧􀋴􀎃 􀏲􀋶􀏧􀋶􀎭􀋴􀎃 􀍋􀎏􀋴􀎭 􀋴􀏝􀎎􀋴􀏗 􀋵􀏪􀍊􀎑􀋴􀎭 􀋵􀏪􀋴􀏤􀍉􀏠􀋴􀏛􀋴􀏭 􀎎􀏨􀋴􀎗􀋶􀎎􀋴􀏘􀏴􀋶􀏤􀏟􀋶 􀏰􀎳􀋴 􀏮􀏣􀋵 􀋴􀋯􀎎􀋴􀎟 􀎎􀍉􀏤􀋴􀏟􀋴􀏭
"Dan, tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu
yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berbicara (langsung)
kepadanya, Musa berkata, 'Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada Engkau'." (Al-A'raf: 143).
Pembicaraan ini berbeda dengan yang pertama saat Dia mengutusnya
kepada Fir'aun. Dalam pembicaraan kali ini Musa meminta untuk
dapat melihat Allah. Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepadanya.
Sementara pada pembicaraan yang pertama tidak didahului dengan
janji.
Tingkatan Kedua:
Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi.
Allah befirman,􀎃 􀎎􀏧􀍉􀎇􀋶
"Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya."
(An-Nisa': "Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir." (Asy-
Syura: 51).
Allah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini termasuk bagian dari
bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi lawan bicara. La wan bica-ra
secara khusus artinya tanpa ada perantara, sedangkan bagian dari bicara
yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai macam
cara.
Tingkatan Ketiga:
Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia,
lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang
diperintahkan-Nya.
Tiga jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi,
tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud
manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan
juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan diri dalam
wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan
menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri
darinya. Tiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi
wa Sallam.
Tingkatan Keempat:
Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang sifatnya
khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti
yang dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah
ditegaskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
􀎏􀎎􀏄􀎨􀏟􀎍􀀃􀏦􀎑􀀃􀎮􀏤􀏌􀏓􀀃􀎔􀏣􀏷􀎍􀀃􀏩􀎬􀏫􀀃􀏲􀏓􀀃􀏦􀏜􀏳􀀃􀏥􀎈􀏓􀀃􀏥􀏮􀎛􀎪􀎤􀏣􀀃􀏢􀏜􀏠􀎒􀏗􀀃􀏢􀏣􀏷􀎍􀀃􀏲􀏓􀀃􀏥􀎎􀏛􀀃􀏪􀏧􀎇
"Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum kalian ada orang-orang
yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini adalah Umar bin
Al-Khaththab."
Orang yang mendapat bisikan ialah orang yang mendapat bisikan
(firasat) itu secara rahasia di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian dia
menyatakannya. Lalu bagaimana dengan sekian banyak orang yang
dikuasai imajinasi dan hayalan, yang mengatakan, "Hatiku mendapat
bisikan dari Allah?" Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat
bisikan itu. Tapi dari mana dan dari siapa? Dari syetan ataukah dari Allah?
Jika dia mengaku berasal dari Allah, berarti dia menyandarkan bisikan itu
dari seseorang yang sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya secara pasti,
bahwa yang membisikkan kepadanya itu benar-benar mem-bisikkan. Ini
sama saja bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari
umat ini yang telah dilejitimasi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sebagai orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat
pengakuan seperti itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah
melindungi dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat
sekretarisnya menulis, "Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul-
Mukminin, Umar bin Al-Khaththab", dia berkata, "Tidak, hapus itu. Tapi
tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika benar, maka ini
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari Umar, sedangkan Allah
dan Rasul-Nya terbebas darinya." Dia juga pernah berkata ketika
memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya,
"Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari syetan."
Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al-
Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pem-bual
dan permisivis yang mengatakan, "Hatiku mendapat bisikan (wang-sit) dari
Allah." Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan
hak kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual
dengan orang yang tulus.
Tingkatan Kelima:
Dengan cara pemahaman. Allah befirman,
􀀃􀎎􀍉􀏨􀋵􀏛􀋴􀏭􀀃􀋶􀏡􀋸􀏮􀋴􀏘􀋸􀏟􀎍􀀃􀋵􀏢􀋴􀏨􀋴􀏏􀀃􀋶􀏪􀏴􀋶􀏓􀀃􀋸􀎖􀋴􀎸􀋴􀏔􀋴􀏧􀀃􀋸􀎫􀋶􀎇􀀃􀋶􀎙􀋸􀎮􀋴􀎤􀋸􀏟􀎍􀀃􀏲􀋶􀏓􀀃􀋶􀏥􀎎􀋴􀏤􀋵􀏜􀋸􀎤􀋴􀏳􀀃􀋸􀎫􀋶􀎇􀀃􀋴􀏥􀎎􀋴􀏤􀋸􀏴􀋴􀏠􀋵􀎳􀋴􀏭􀀃􀋴􀎩􀋵􀏭􀎍􀋴􀎩􀋴􀏭
􀋱􀎎􀏤􀋸􀏠􀋶􀏋􀋴􀏭􀀃􀋱􀎎􀏤􀋸􀏜􀋵􀎣􀀃􀎎􀋴􀏨􀋸􀏴􀋴􀎗􀎁􀀃􀋷􀋱􀏼􀋵􀏛􀋴􀏭􀀃􀋴􀏥􀎎􀋴􀏤􀋸􀏴􀋴􀏠􀋵􀎳􀀃􀎎􀋴􀏫􀎎􀋴􀏨􀋸􀏤􀍉􀏬􀋴􀏔􀋴􀏓􀀃􀋬􀋴􀏦􀏳􀋶􀎪􀋶􀏫􀎎􀋴􀎷􀀃􀋸􀏢􀋶􀏬􀋶􀏤􀋸􀏜􀋵􀎤􀋶􀏟
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu."
(Al-Anbiya': 78-79).
Allah menyebutkan dua nabi yang mulia ini, memuji keduanya dengan
ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman dengan pemahaman
dalam peristiwa ini.
Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengkhususkan kalian para shahabat
dengan sesuatu tanpa yang lain?" Ali menjawab, "Tidak pernah, kecuali
hanya pemahaman tentang Kitab-Nya seperti yang diberikan Allah kepada
seorang hamba."
Pemahaman ini datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan
inti kebenaran. Ada perbedaan di antara orang-orang yang berilmu
sehubungan dengan pemahaman ini, sampai-sampai ada satu orang yang
disamakan dengan seribu orang. Perhatikan pemahaman yang dimiliki
Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar dalam pertemuan yang dihadiri para
shahabat yang pernah ikut perang Badr dan juga lain-lainnya tentang
makna surat An-Nashr. Menurut Ibnu Abbas, surat ini merupakan
pengabaran tentang kedekatan ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu
Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri. Hanya mereka ber-dua
yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas adalah orang yang paling
muda di antara para shahabat yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana
surat ini bisa dipahami sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah
dekat kalau bukan karena pemahaman yang sifatnya khusus?
Tingkatan Keenam:
Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan
kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil,
bukti dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah
kenyataan di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di
depan mata kepala. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.
Dia tidak mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang
tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya,
􀋴􀏥􀏮􀋵􀏘􀍉􀎘􀋴􀏳􀀃􀎎􀋴􀏣􀀃􀋸􀏢􀋵􀏬􀋴􀏟􀀃􀋴􀏦􀍋􀏴􀋴􀎒􀋵􀏳􀀃􀏰􀍉􀎘􀋴􀎣􀀃􀋸􀏢􀋵􀏫􀎍􀋴􀎪􀋴􀏫􀀃􀋸􀎫􀋶􀎇􀀃􀋴􀎪􀋸􀏌􀋴􀎑􀀃􀋱􀎎􀏣􀋸􀏮􀋴􀏗􀀃􀍉􀏞􀋶􀏀􀋵􀏴􀋶􀏟􀀃􀋵􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍􀀃􀋴􀏥􀎎􀋴􀏛􀀃􀎎􀋴􀏣􀋴􀏭
"Dan, Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah
Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada
mereka apa yang harus dijauhi." (At-Taubah: 115).
Kesesatan ini merupakan hukuman bagi mereka yang datangnya
dari Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun mereka
tidak mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghukum
mereka dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama
sekali tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini.
Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami rahasia
takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak keragu-raguan dan
syubhat tentang masalah ini.
Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang bisa
didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang
bisa dilihat mata. Keduanya merupakan bukti dan penjelasan tentang
keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru
hamba-hamba-Nya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan
tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa dilihat mata. Karena penjelasan
inilah para rasul diutus dan pengemban sesudah para nabi adalah para
ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.
Tingkatan Ketujuh:
Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan
petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik
dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak
kehilangan hidayah. Allah befirman,
􀋷􀏞􀋶􀏀􀋵􀏳􀀃􀋸􀏦􀋴􀏣􀀃􀏱􀋶􀎪􀋸􀏬􀋴􀏳􀀃􀏻􀀃􀋴􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍􀀃􀍉􀏥􀋶􀎈􀋴􀏓􀀃􀋸􀏢􀋵􀏫􀎍􀋴􀎪􀋵􀏫􀀃􀏰􀋴􀏠􀋴􀏋􀀃􀋸􀎹􀋶􀎮􀋸􀎤􀋴􀎗􀀃􀋸􀏥􀋶􀎇
"Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka
sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang
disesatkan-Nya." (An-Nahl: 36).
􀋵􀋯􀎎􀋴􀎸􀋴􀏳􀀃􀋸􀏦􀋴􀏣􀀃􀏱􀋶􀎪􀋸􀏬􀋴􀏳􀀃􀋴􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍􀀃􀍉􀏦􀋶􀏜􀋴􀏟􀋴􀏭􀀃􀋴􀎖􀋸􀎒􀋴􀎒􀋸􀎣􀋴􀎃􀀃􀋸􀏦􀋴􀏣􀀃􀏱􀋶􀎪􀋸􀏬􀋴􀎗􀀃􀏻􀀃􀋴􀏚􀍉􀏧􀋶􀎇
"Sesungguhnya kami tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya." (Al-Qashash: 56).
Tingkatan Kedelapan:
Lewat pendengaran. Allah befirman,
􀀃􀋸􀏢􀋵􀏬􀋴􀏌􀋴􀏤􀋸􀎳􀋴􀏷􀀃􀋱􀎍􀎮􀋸􀏴􀋴􀎧􀀃􀋸􀏢􀋶􀏬􀏴􀋶􀏓􀀃􀋵􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍􀀃􀋴􀏢􀋶􀏠􀋴􀏋􀀃􀋸􀏮􀋴􀏟􀋴􀏭
"Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah
Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (Al-Anfal: 23)
Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada memperdengarkan
hujjah dan tabligh, sebab yang demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri
dan karenanya Allah menegakkan hujjah atas mereka. Yang demikian itu
berarti memperdengarkan telinga, sedangkan yang ini memperdengarkan
hati. Perkataan mempunyai lafazh dan makna, yang berkaitan dengan
telinga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan bagian telinga,
sedangkan mendengarkan hakikat makna dan tujuannya merupakan
bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang
merupakan bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan
pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.
Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa
tingkatan ini diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan
pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada
tingkatan pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman
juga bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia
berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan isyarat-nya. Inti
tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati, yang berarti
harus ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga
tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar dan
penerimaan atau pemenuhan.
Tingkatan Kesembilan:
Ilham. Allah befirma"Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
(Asy-Syams: 7-8).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Hushain bin Al-
Mundzir saat dia masuk Islam,
􀏲􀎴􀏔􀏧􀀃􀎮􀎷􀀃􀏲􀏨􀏗􀏭􀀃􀏱􀎪􀎷􀎭􀀃􀏲􀏨􀏤􀏬􀏟􀎃􀀃􀏢􀏬􀏠􀏟􀎍􀀃􀏞􀏗
"Katakanlah, 'Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan
lindungilah aku dari kejahatan diriku."
Pengarang Manazilus-Sa'irin (Abu Ismail) menganggap ilham ini sama
kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih tinggi daripada
firasat. Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi atau bersifat
insidental dan pelakunya tidak bisa menentukan kapan waktunya atau
bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara kedudukan ilham sudah jelas.
Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih khusus daripada ilham. Ilham
bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman mereka.
Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah, yang
menghasilkan keimanan kepada-Nya. Sedangkan bisikan dalam hati ha-nya
dikhususkan bagi orang-orang yang memang mendapatkannya, se-perti
Umar bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau
bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada selain para nabi, baik mukallaf
atau bukan mukallaf. Wahyu yang diberikan kepada mukallaf seperti firman
Allah,
􀋶􀏪􀏴􀋶􀏌􀋶􀎿􀋸􀎭􀋴􀎃􀀃􀋸􀏥􀋴􀎃􀀃􀏰􀋴􀎳􀏮􀋵􀏣􀀃􀍋􀏡􀋵􀎃􀀃􀏰􀋴􀏟􀋶􀎇􀀃􀎎􀋴􀏨􀋸􀏴􀋴􀎣􀋸􀏭􀋴􀎃􀋴􀏭
"Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, 'Susuilah dia'." (Al-Qashash:7).
Wahyu yang diberikan kepada yang bukan mukallaf,
􀋴􀎠􀍉􀎸􀏟􀎍􀀃􀋴􀏦􀋶􀏣􀋴􀏭􀀃􀋱􀎎􀎗􀏮􀋵􀏴􀋵􀎑􀀃􀋶􀏝􀎎􀋴􀎒􀋶􀎠􀋸􀏟􀎍􀀃􀋴􀏦􀋶􀏣􀀃􀏱􀋶􀎬􀋶􀎨􀍉􀎗􀎍􀀃􀋶􀏥􀋴􀎃􀀃􀋶􀏞􀎎􀀃􀍉􀏤􀋶􀏣􀋴􀏭􀀃􀋶􀎮 􀋸􀎤􀍉􀏨􀏟􀎍􀀃􀏰􀋴􀏟􀋶􀎇􀀃􀋴􀏚􀍊􀎑􀋴􀎭􀀃􀏰􀋴􀎣􀋸􀏭􀋴􀎃􀋴􀏭
􀋴􀏥􀏮􀋵􀎷􀋶􀎮􀋸􀏌􀋴􀏳
"Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia'."(An-Nahl: 68).
Jika ilham ini dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat,
maka justru bisa melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang
sudah dikatakan di atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara
sesuatu yang jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya
tentang masalah ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi
umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang
umum pada selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara kedua-nya,
firasat lebih berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan,
sedangkan ilham murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan
tindakan atau usaha tertentu.
Tingkatan Kesepuluh:
Mimpi yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti
yang dikabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
􀎓􀏮􀎒􀏨􀏟􀎍􀀃􀏦􀏣􀀃􀎍􀋯􀎰􀎟􀀃􀏦􀏴􀏌􀎑􀎭􀎃􀏭􀀃􀎔􀎘􀎳􀀃􀏦􀏣􀀃􀋯􀎰􀎟􀀃􀎔􀏗􀎩􀎎􀎼􀏟􀎍􀀃􀎎􀏳􀎅􀎮􀏟􀎍
"Mimpi yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam
bagian dari nubuwah."
Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu
bagian dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi merupakan
permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang
bermimpi, dan mimpi yang paling benar ialah mimpinya orang yang perkataannya
paling benar dan jujur. Jika kiamat sudah dekat, maka hampir
tidak ada mimpi yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubuwah.
Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi
yang benar ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah.
Kebalikan dari mimpi yang benar ini adalah karamah yang muncul
setelah masa shahabat, namun tidak muncul pada masa dekatnya hari
kiamat. Hal ini disebabkan kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang ditegaskan
Al-Imam Ahmad.
Ubadah bin Ash-Shamit berkata, "Mimpi orang Mukmin merupakan
perkataan yang disampaikan Allah kepada hamba-Nya ketika dia tidur."
Mimpi itu layaknya suatu pengungkapan, di antaranya ada yang
berasal dari Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal
dari syetan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
"Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan
dan mimpi yang terbawa bisikan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar