Minggu, 19 Mei 2013

Hakikat Asma' Allah

Pembuktian asma' Allah yang lima (Allah, Ar-Rabb, Ar-Rahman, Ar-
Rahim dan Al-Malik), dilandaskan kepada dua dasar:
Dasar Pertama:
Asma' Allah menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya. Asma' ini
merupakan sifat, yang semuanya baik, husna. Sebab jika asma' itu hanya
sekedar lafazh yang tidak mempunyai makna apa pun, maka ia tidak bisa
disebut husna dan tidak menunjukkan kesempurnaan, lalu akan terjadi
kerancuan antara dendam dan marah yang menyertai rahmat dan ihsan,
sehingga kalau berdoa kita harus mengucapkan, "Ya Allah, sesungguh-nya
aku menganiaya diriku sendiri, maka ampunilah aku karena Engkau
pendendam". Penafian makna Asma'ul-husna termasuk kufur yang terbesar.
Jika Allah mensifati Diri-Nya Al-Qawiyyu, berarti memang Dia benarbenar
mempunyai kekuatan. Begitu pula sifat-sifat lainnya.
Di dalam Ash-Shahih disebutkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
beliau bersabda,
􀏞􀏤􀏋 􀏪􀏴􀏟􀎇 􀏊􀏓􀎮􀏳 􀏪􀏌􀏓􀎮􀏳􀏭 􀏂􀎴􀏘􀏟􀎍􀎾􀏔􀎨􀏳 􀏡􀎎􀏨􀏳 􀏥􀎃 􀏪􀏟 􀏲􀏐􀎒􀏨􀏳 􀏻􀏭 􀏡􀎎􀏨􀏳 􀏻 􀍿􀎍 􀏥􀎇
􀎖􀏗􀎮􀎣􀏷 􀏪􀏔􀎸􀏛 􀏮􀏟 􀎭􀏮􀏨􀏟􀎍 􀏪􀎑􀎎􀎠􀎣 􀏞􀏴􀏠􀏟􀎍 􀏞􀎒􀏗 􀎭􀎎􀏬􀏨􀏟􀎍 􀏞􀏤􀏋􀏭 􀎭􀎎􀏬􀏨􀏟􀎍 􀏞􀎒􀏗 􀏞􀏴􀏠􀏟􀎍
.􀏪􀏘􀏠􀎧 􀏦􀏣 􀏩􀎮􀎼􀎑 􀏪􀏴􀏟􀎇 􀏰􀏬􀎘􀏧􀎍 􀎎􀏣 􀏪􀏬􀎟􀏭 􀎕􀎎􀎤􀎒􀎳
"Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak seharusnya Dia tidur. Dia
merendahkan timbangan dan meninggikannya. Amalpada malam hari
disampaikan kepada-Nya sebelum siang hari, dan amal slang hari disampaikan
kepada-Nya sebelum malam hari. Hijab-Nya adalah cahaya,
yang andaikan hijab ini disingkap, maka kemuliaan Wajah-Nya benar-
benar membakar pandangan makhluk yang memandang-Nya."
Menafikan makna asma'-Nya juga termasuk kufur yang paling besar.
Gambaran kufur lainnya adalah menamakan berhala dengan asma'
Allah, sebagaimana mereka menamakannya alihah (sesembahan). Ibnu
Abbas dan Mujahid berkata, "Mereka mengambil asma' Allah lalu menamakan
berhala-berhala mereka dengan asma'-Nya, dengan sedikit mengurangi
atau menambahi. Mereka mengambil nama Lata dari Allah, Uzza
dari Al-Aziz, Manat dari Al-Mannan."
Dasar Kedua:
Satu dari berbagai asma' Allah, di samping menunjukkan kepada
Dzat dan sifat yang disesuaikan dengannya, maka ia juga menunjukkan
dua bukti lainnya yang sifatnya kandungan dan keharusan. As-Sami'
menunjukkan kepada Dzat Allah dan pendengaran-Nya, juga kepada Dzat
semata dan kepada pendengaran yang menjadi kandungannya. Begitu pula
sifat-sifat lainnya.
Jika sudah ada kejelasan tentang dua dasar ini, maka asma' Allah
menunjukkan kepada keseluruhan Asma'ul-husna dan sifat-sifat yang
tinggi. Hal ini menunjukkan kepada Ilahiyah-Nya, dengan penafian kebalikannya.
Maksud sifat-sifat Ilahiyah adalah sifat-sifat kesempurnaan, yang
terlepas dari penyerupaan dan permisalan, aib dan kekurangan. Karena
Allah menambahkan semua Asma'ul-husna ke asma'-Nya yang agung ini
(Allah).
Asma' "Allah" layak untuk semua makna Asma'ul-husna dan menunjukkan
kepadanya secara global. Sedangkan Asma'ul-husna itu sendiri
merupakan rincian dari sifat-sifat Ilahiyah yang berasal dari asma'"Allah".
Asma' "Allah" menunjukkan keadaan-Nya sebagai Dzat yang disembah.
Semua makhluk menyembah-Nya dengan penuh rasa cinta, pengagungan
dan ketundukan. Hal ini mengharuskan adanya kesempurnaan Rububiyah
dan rahmat-Nya, yang juga mencakup kesempurnaan kekuasaan dan puji-
Nya.
Sifat keagungan dan keindahan lebih dikhususkan untuk nama
"Allah". Perbuatan, kekuasaan, kesendirian-Nya dalam memberi manfaat
dan mudharat, memberi dan menahan, kehendak, kesempumaan kekuatan
dan penanganan urusan makhluk, lebih dikhususkan untuk nama " Ar-
Rabb". Sifat ihsan, murah hati, pemberi dan lemah lembut lebih dikhususkan
untuk nama "Ar-Rahman". Masing-masing disesuaikan dengan kaitan sifat.
Ar-Rahman artinya yang memiliki sifat rahmat. Sedang-kan Ar-Rahim
adalahyang mengasihi hamba-hamba-Nya. Karena itu dik-takan dalam firman-
Nya, "Dia Ar-Rahim (Maha Pengasih) terhadap hamba-hamba-Nya", dan
tidak dikatakan, "Ar-Rahman (yang memiliki sifat rahmat) terhadap
hamba-hamba-Nya".
Perhatikanlah kaitan penciptaan dan urusan dengan tiga asma' ini,
yaitu Allah, Ar-Rabb dan Ar-Rahman, yang dari tiga asma' ini ada penciptaan,
urusan, pahala dan siksa, bagaimana makhluk dihimpunkan dan
dipisah-pisahkan.
Asma' Ar-Rabb memiliki cakupan yang menyeluruh terhadap semua
makhluk. Dengan kata lain, Dia adalah pemilik segala sesuatu dan
penciptanya, yang berkuasa terhadapnya dan tidak ada sesuatu pun yang
keluar dari Rububiyah-Nya. Siapa pun yang ada di langit dan bumi merupakan
hamba-Nya, ada dalam genggaman dan kekuasaan-Nya. Mereka
berhimpun berdasarkan sifat Rububiyah dan berpisah dengan sifat Ilahiyah.
Hanya Dialah yang disembah, kepada-Nya mereka tunduk, bahwa
Dialah Allah yang tidak ada sesembahan selain-Nya. Ibadah, tawakal,
berharap, takut, mencintai, pasrah, tunduk tidak boleh diperuntukkan
kecuali bagi-Nya semata.
Berangkat dari sinilah manusia terbagi menjadi dua golongan: Golongan
orang-orang musyrik yang berada di neraka, dan golongan orangorang
muwahhidin yang berada di surga. Yang membuat mereka terpi-sah
adalah Ilahiyah, sedangkan Rububiyah membuat mereka bersatu. Agama,
syariat, perintah dan larangan berasal dari sifat Ilahiyah. Penciptaan,
pengadaan, penanganan urusan dan perbuatan berasal dari sifat Rububiyah.
Pahala, balasan, siksa, surga dan neraka berasal dari sifat Al-Malik. Artinya,
Dialah yang menguasai hari pembalasan. Dia memerin-tahkan mereka
berdasarkan Ilahiyah-Nya, menunjuki dan menyesatkan mereka berdasarkan
Rububiyah-Nya, memberi pahala dan siksa berdasarkan kekuasaan dan
keadilan-Nya. Setiap masalah ini tidak bisa dipisah-kan dari yang lain.
Disebutkannya asma'-asma' ini setelah al-hamdu (pujian) dan pengaitan
al-hamdu dengan segala cakupannya, menunjukkan bahwa memang
Dia adalah yang terpuji dalam Ilahiyah-Nya, terpuji dalam Rububiyah-
Nya, terpuji dalam Rahmaniyah-Nya, terpuji dalam kekuasaan-Nya, Dia
adalah sesembahan yang terpuji, ilah dan Rabb yang terpuji, Rahman yang
terpuji, Malik yang terpuji. Dengan begitu Dia memiliki seluruh
kesempumaan; kesempumaan dalam asma' Allah secara sendirian dan
kesempumaan dalam asma'-asma' lainnya secara sendirian serta kesempumaan
dalam penyertaan satu asma' dengan asma' lain. Karena itu sering
disebutkan dua asma' secara berurutan, seperti: Wallahu ghaniyyun hamid,
-wallahu alimun hakim, wallahu ghafurur rahim. Al-Ghaniyyu merupakan
sifat kesempurnaan dan Al-Hamid merupakan sifat kesempurnaan
pula. Penyertaan dua asma' ini merupakan kesempurnaan-Nya, begitu
pula penyertaan sifat-sifat yang lain.
Tingkatan-tingkatan Hidayah Khusus dan Umum
Tingkatan Pertama:
Tingkatan pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara sadar dan
langsung tanpa perantara. Ini merupakan tingkatan hidayah yang paling
tinggi, sebagaimana Allah yang berbicara dengan Musa bin Imran. Allah
befirman,
􀋱􀎎􀏤􀏴􀋶􀏠􀋸􀏜􀋴􀎗 􀏰􀎳􀋴 􀏮􀏣􀋵 􀋵􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍 􀋴􀏢􀍉􀏠􀋴􀏛􀋴􀏭
"Dan, Allah telah berbicara kepada Musa secara langsung." (An-Nisa':
164).
Sebelum ayat ini disebutkan wahyu Allah yang diberikan kepada
Nuh dan para nabi sesudahnya, kemudian mengkhususkan Musa, bahwa
Allah berbicara dengan beliau. Ini menunjukkan bahwa pembicaraan ini
lebih khusus dari sekedar memberikan wahyu seperti yang disebutkan
dalam ayat sebelumnya. Lalu hal ini ditegaskan lagi dengan adanya mashdar
dari kallama. Hujjah ini untuk menyanggah pendapat jahmiyah, Mu'-
tazilah dan golongan-golongan lain yang mengatakan bahwa itu artinya
wahyu atau isyarat atau pengenalan terhadap suatu makna, yang artinya
bukan bicara secara langsung. Al-Fara' berkata, "Orang-orang Arab menye-but
kontak dengan orang lain adalah bicara, dengan cara apa pun dan
bagaimana pun. Tetapi makna ini tidak disertai dengan mashdar dari fi'il
yang sama. Jika dikuatkan dengan mashdar, berarti hakikatnya memang
bicara. Maka apabila dikatakan, "Fulan araada iraadatan", artinya Fulan
benar-benar menghendaki.
Ada firman Allah yang lain tentang hal ini,
􀏚􀋸􀏴􀋴􀏟􀋶􀎇 􀋸􀎮􀋵􀏈􀋸􀏧􀋴􀎃 􀏲􀋶􀏧􀋶􀎭􀋴􀎃 􀍋􀎏􀋴􀎭 􀋴􀏝􀎎􀋴􀏗 􀋵􀏪􀍊􀎑􀋴􀎭 􀋵􀏪􀋴􀏤􀍉􀏠􀋴􀏛􀋴􀏭 􀎎􀏨􀋴􀎗􀋶􀎎􀋴􀏘􀏴􀋶􀏤􀏟􀋶 􀏰􀎳􀋴 􀏮􀏣􀋵 􀋴􀋯􀎎􀋴􀎟 􀎎􀍉􀏤􀋴􀏟􀋴􀏭
"Dan, tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu
yang telah Kami tentukan dan Rabbnya telah berbicara (langsung)
kepadanya, Musa berkata, 'Ya Rabbi, tampakkanlah (Diri Engkau) kepadaku
agar aku dapat melihat kepada Engkau'." (Al-A'raf: 143).
Pembicaraan ini berbeda dengan yang pertama saat Dia mengutusnya
kepada Fir'aun. Dalam pembicaraan kali ini Musa meminta untuk
dapat melihat Allah. Pembicaraan kali ini berasal dari janji Allah kepadanya.
Sementara pada pembicaraan yang pertama tidak didahului dengan
janji.
Tingkatan Kedua:
Tingkatan wahyu yang secara khusus diberikan kepada para nabi.
Allah befirman,􀎃 􀎎􀏧􀍉􀎇􀋶
"Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya."
(An-Nisa': "Dan, tidak ada bagi seorang manusia pun bahwa Allah berkata dengan
dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir." (Asy-
Syura: 51).
Allah menjadikan wahyu dalam ayat kedua ini termasuk bagian dari
bicara, sedangkan dalam ayat pertama menjadi lawan bicara. La wan bica-ra
secara khusus artinya tanpa ada perantara, sedangkan bagian dari bicara
yang bersifat umum, berarti penyampaian makna dengan berbagai macam
cara.
Tingkatan Ketiga:
Mengirim utusan dari jenis malaikat kepada utusan dari jenis manusia,
lalu utusan malaikat ini menyampaikan wahyu dari Allah seperti yang
diperintahkan-Nya.
Tiga jenis tingkatan ini dikhususkan hanya bagi para rasul dan nabi,
tidak berlaku untuk selain mereka. Utusan malaikat itu bisa berwujud
manusia berjenis laki-laki, yang bisa dilihat dengan mata telanjang dan
juga berbicara empat mata, dan adakalanya dia menampakkan diri dalam
wujud aslinya. Adakalanya malaikat ini masuk ke dalam diri rasul dan
menyampaikan wahyu seperti yang diperintahkan, lalu dia melepaskan diri
darinya. Tiga cara ini pernah dialami nabi kita Muhammad Shallallahu Alaihi
wa Sallam.
Tingkatan Keempat:
Dengan cara bisikan. Tingkatan ini berbeda dengan wahyu yang sifatnya
khusus dan juga berbeda dengan tingkatan para shiddiqin, seperti
yang dialami Umar bin Al-Khaththab Radhiyallahu Anhu. Hal ini pernah
ditegaskan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam,
􀎏􀎎􀏄􀎨􀏟􀎍􀀃􀏦􀎑􀀃􀎮􀏤􀏌􀏓􀀃􀎔􀏣􀏷􀎍􀀃􀏩􀎬􀏫􀀃􀏲􀏓􀀃􀏦􀏜􀏳􀀃􀏥􀎈􀏓􀀃􀏥􀏮􀎛􀎪􀎤􀏣􀀃􀏢􀏜􀏠􀎒􀏗􀀃􀏢􀏣􀏷􀎍􀀃􀏲􀏓􀀃􀏥􀎎􀏛􀀃􀏪􀏧􀎇
"Sesungguhnya di tengah umat-umat sebelum kalian ada orang-orang
yang mendapat bisikan. Sedangkan dalam umat ini adalah Umar bin
Al-Khaththab."
Orang yang mendapat bisikan ialah orang yang mendapat bisikan
(firasat) itu secara rahasia di dalam hatinya tentang sesuatu, kemudian dia
menyatakannya. Lalu bagaimana dengan sekian banyak orang yang
dikuasai imajinasi dan hayalan, yang mengatakan, "Hatiku mendapat
bisikan dari Allah?" Memang tidak bisa disangkal bahwa hatinya mendapat
bisikan itu. Tapi dari mana dan dari siapa? Dari syetan ataukah dari Allah?
Jika dia mengaku berasal dari Allah, berarti dia menyandarkan bisikan itu
dari seseorang yang sebenarnya dia pun tidak mengetahuinya secara pasti,
bahwa yang membisikkan kepadanya itu benar-benar mem-bisikkan. Ini
sama saja bohong. Sementara Umar bin Al-Khaththab, salah seorang dari
umat ini yang telah dilejitimasi oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi wa
Sallam sebagai orang yang mendapat bisikan dari Allah, tidak membuat
pengakuan seperti itu dan berkata seperti itu, kapan pun, karena Allah telah
melindungi dirinya agar tidak berkata seperti itu. Bahkan suatu hari saat
sekretarisnya menulis, "Inilah yang diperlihatkan Allah kepada Amirul-
Mukminin, Umar bin Al-Khaththab", dia berkata, "Tidak, hapus itu. Tapi
tulislah: Inilah yang dilihat Umar bin Al-Khaththab. Jika benar, maka ini
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka ini dari Umar, sedangkan Allah
dan Rasul-Nya terbebas darinya." Dia juga pernah berkata ketika
memutuskan perkara tentang seorang anak yang tidak jelas bapak ibunya,
"Aku memutuskannya berdasarkan pendapatku. Jika benar, maka itu
datangnya dari Allah, dan jika salah, maka itu dariku dan dari syetan."
Dengan begitu engkau bisa membedakan antara sosok Umar bin Al-
Khaththab dengan sekian banyak orang yang dikuasai hayalan, pem-bual
dan permisivis yang mengatakan, "Hatiku mendapat bisikan (wang-sit) dari
Allah." Perhatikan dan bandingkan antara keduanya, kemudian berikan
hak kepada masing-masing secara proporsional, jangan samakan pembual
dengan orang yang tulus.
Tingkatan Kelima:
Dengan cara pemahaman. Allah befirman,
􀀃􀎎􀍉􀏨􀋵􀏛􀋴􀏭􀀃􀋶􀏡􀋸􀏮􀋴􀏘􀋸􀏟􀎍􀀃􀋵􀏢􀋴􀏨􀋴􀏏􀀃􀋶􀏪􀏴􀋶􀏓􀀃􀋸􀎖􀋴􀎸􀋴􀏔􀋴􀏧􀀃􀋸􀎫􀋶􀎇􀀃􀋶􀎙􀋸􀎮􀋴􀎤􀋸􀏟􀎍􀀃􀏲􀋶􀏓􀀃􀋶􀏥􀎎􀋴􀏤􀋵􀏜􀋸􀎤􀋴􀏳􀀃􀋸􀎫􀋶􀎇􀀃􀋴􀏥􀎎􀋴􀏤􀋸􀏴􀋴􀏠􀋵􀎳􀋴􀏭􀀃􀋴􀎩􀋵􀏭􀎍􀋴􀎩􀋴􀏭
􀋱􀎎􀏤􀋸􀏠􀋶􀏋􀋴􀏭􀀃􀋱􀎎􀏤􀋸􀏜􀋵􀎣􀀃􀎎􀋴􀏨􀋸􀏴􀋴􀎗􀎁􀀃􀋷􀋱􀏼􀋵􀏛􀋴􀏭􀀃􀋴􀏥􀎎􀋴􀏤􀋸􀏴􀋴􀏠􀋵􀎳􀀃􀎎􀋴􀏫􀎎􀋴􀏨􀋸􀏤􀍉􀏬􀋴􀏔􀋴􀏓􀀃􀋬􀋴􀏦􀏳􀋶􀎪􀋶􀏫􀎎􀋴􀎷􀀃􀋸􀏢􀋶􀏬􀋶􀏤􀋸􀏜􀋵􀎤􀋶􀏟
"Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman di waktu keduanya memberikan
keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh
kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan, adalah Kami menyaksikan
keputusan yang diberikan oleh mereka itu, maka Kami telah memberikan
pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan ilmu."
(Al-Anbiya': 78-79).
Allah menyebutkan dua nabi yang mulia ini, memuji keduanya dengan
ilmu dan hukum, mengkhususkan Sulaiman dengan pemahaman
dalam peristiwa ini.
Ali bin Abu Thalib pernah ditanya seseorang, "Apakah Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam pernah mengkhususkan kalian para shahabat
dengan sesuatu tanpa yang lain?" Ali menjawab, "Tidak pernah, kecuali
hanya pemahaman tentang Kitab-Nya seperti yang diberikan Allah kepada
seorang hamba."
Pemahaman ini datangnya dari Allah dan Rasul-Nya, yang merupakan
inti kebenaran. Ada perbedaan di antara orang-orang yang berilmu
sehubungan dengan pemahaman ini, sampai-sampai ada satu orang yang
disamakan dengan seribu orang. Perhatikan pemahaman yang dimiliki
Ibnu Abbas, saat dia ditanya Umar dalam pertemuan yang dihadiri para
shahabat yang pernah ikut perang Badr dan juga lain-lainnya tentang
makna surat An-Nashr. Menurut Ibnu Abbas, surat ini merupakan
pengabaran tentang kedekatan ajal beliau. Ternyata jalan pikiran Ibnu
Abbas ini cocok dengan jalan pikiran Umar sendiri. Hanya mereka ber-dua
yang memahami seperti ini, sekalipun Ibnu Abbas adalah orang yang paling
muda di antara para shahabat yang ada pada waktu itu. Dari sisi mana
surat ini bisa dipahami sebagai pengabaran tentang ajal beliau yang sudah
dekat kalau bukan karena pemahaman yang sifatnya khusus?
Tingkatan Keenam:
Penjelasan secara umum. Artinya, penjelasan tentang kebenaran dan
kemampuan untuk membedakannya dari yang batil, berdasarkan dalil,
bukti dan saksi-saksi penguat, sehingga lalu berubah seperti sebuah
kenyataan di dalam hati, seperti sebuah kenyataan yang tampak jelas di
depan mata kepala. Tingkatan ini merupakan hujjah Allah atas makhluk-Nya.
Dia tidak mengadzab dan tidak menyesatkan seseorang kecuali sete-lah orang
tersebut mendapatkan kejelasan ini. Firman-Nya,
􀋴􀏥􀏮􀋵􀏘􀍉􀎘􀋴􀏳􀀃􀎎􀋴􀏣􀀃􀋸􀏢􀋵􀏬􀋴􀏟􀀃􀋴􀏦􀍋􀏴􀋴􀎒􀋵􀏳􀀃􀏰􀍉􀎘􀋴􀎣􀀃􀋸􀏢􀋵􀏫􀎍􀋴􀎪􀋴􀏫􀀃􀋸􀎫􀋶􀎇􀀃􀋴􀎪􀋸􀏌􀋴􀎑􀀃􀋱􀎎􀏣􀋸􀏮􀋴􀏗􀀃􀍉􀏞􀋶􀏀􀋵􀏴􀋶􀏟􀀃􀋵􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍􀀃􀋴􀏥􀎎􀋴􀏛􀀃􀎎􀋴􀏣􀋴􀏭
"Dan, Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah
Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada
mereka apa yang harus dijauhi." (At-Taubah: 115).
Kesesatan ini merupakan hukuman bagi mereka yang datangnya
dari Allah, karena Dia telah menjelaskan kepada mereka, namun mereka
tidak mau menerima dan tidak mengamalkannya. Maka Allah menghukum
mereka dengan cara menyesatkannya dari petunjuk. Jadi, Allah sama
sekali tidak menyesatkan seseorang kecuali setelah ada penjelasan ini.
Jika engkau sudah memahami hal ini, tentu engkau bisa memahami rahasia
takdir, sehingga engkau tidak terasuki sekian banyak keragu-raguan dan
syubhat tentang masalah ini.
Penjelasan ini ada dua macam: Penjelasan dengan ayat-ayat yang bisa
didengar, dan penjelasan dengan ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan) yang
bisa dilihat mata. Keduanya merupakan bukti dan penjelasan tentang
keesaan Allah dan kesempurnaan sifat-sifat-Nya. Karena itu Allah menyeru
hamba-hamba-Nya lewat ayat-ayat-Nya yang bisa dibaca agar memikirkan
tanda-tanda kekuasaan-Nya yang bisa dilihat mata. Karena penjelasan
inilah para rasul diutus dan pengemban sesudah para nabi adalah para
ulama. Setelah ada penjelasan itu, maka Allah menyesatkan siapa pun yang
dikehendaki-Nya. Allah menjelaskan, dan Allah menyesatkan siapa yang
dikehendaki-Nya serta memberikan petunjuk kepada siapa pun yang
dikehendaki-Nya berdasarkan hikmah-Nya.
Tingkatan Ketujuh:
Penjelasan bersifat khusus. Maksudnya penjelasan yang mendatang-kan
petunjuk khusus, atau penjelasan yang disusul dengan pertolongan, taufik
dan pengenyahan sebab-sebab kehinaan dari hati, sehingga dia tidak
kehilangan hidayah. Allah befirman,
􀋷􀏞􀋶􀏀􀋵􀏳􀀃􀋸􀏦􀋴􀏣􀀃􀏱􀋶􀎪􀋸􀏬􀋴􀏳􀀃􀏻􀀃􀋴􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍􀀃􀍉􀏥􀋶􀎈􀋴􀏓􀀃􀋸􀏢􀋵􀏫􀎍􀋴􀎪􀋵􀏫􀀃􀏰􀋴􀏠􀋴􀏋􀀃􀋸􀎹􀋶􀎮􀋸􀎤􀋴􀎗􀀃􀋸􀏥􀋶􀎇
"Jika kamu sangat mengharapkan agar mereka dapat petunjuk, maka
sesungguhnya Allah tiada memberi petunjuk kepada orang yang
disesatkan-Nya." (An-Nahl: 36).
􀋵􀋯􀎎􀋴􀎸􀋴􀏳􀀃􀋸􀏦􀋴􀏣􀀃􀏱􀋶􀎪􀋸􀏬􀋴􀏳􀀃􀋴􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍􀀃􀍉􀏦􀋶􀏜􀋴􀏟􀋴􀏭􀀃􀋴􀎖􀋸􀎒􀋴􀎒􀋸􀎣􀋴􀎃􀀃􀋸􀏦􀋴􀏣􀀃􀏱􀋶􀎪􀋸􀏬􀋴􀎗􀀃􀏻􀀃􀋴􀏚􀍉􀏧􀋶􀎇
"Sesungguhnya kami tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang
yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang
dikehendaki-Nya." (Al-Qashash: 56).
Tingkatan Kedelapan:
Lewat pendengaran. Allah befirman,
􀀃􀋸􀏢􀋵􀏬􀋴􀏌􀋴􀏤􀋸􀎳􀋴􀏷􀀃􀋱􀎍􀎮􀋸􀏴􀋴􀎧􀀃􀋸􀏢􀋶􀏬􀏴􀋶􀏓􀀃􀋵􀏪􀍉􀏠􀏟􀎍􀀃􀋴􀏢􀋶􀏠􀋴􀏋􀀃􀋸􀏮􀋴􀏟􀋴􀏭
"Kalau sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah
Allah menjadikan mereka dapat mendengar." (Al-Anfal: 23)
Memperdengarkan di sini lebih khusus daripada memperdengarkan
hujjah dan tabligh, sebab yang demikian itu berangkat dari diri mereka sendiri
dan karenanya Allah menegakkan hujjah atas mereka. Yang demikian itu
berarti memperdengarkan telinga, sedangkan yang ini memperdengarkan
hati. Perkataan mempunyai lafazh dan makna, yang berkaitan dengan
telinga dan hati. Mendengarkan lafazh merupakan bagian telinga,
sedangkan mendengarkan hakikat makna dan tujuannya merupakan
bagian hati. Allah meniadakan pendengaran maksud dan tujuan yang
merupakan bagian hati dari orang-orang kafir, dan hanya menetapkan
pendengaran lafazh-lafazh yang merupakan bagian telinga.
Perbedaan antara tingkatan ini dengan tingkatan pemahaman, bahwa
tingkatan ini diperoleh lewat sarana telinga, sedangkan tingkatan
pemahaman sifatnya lebih umum. Jadi tingkatan ini lebih khusus daripada
tingkatan pemahaman, jika dilihat dari sisi ini. Tapi tingkatan pemahaman
juga bisa lebih khusus jika dilihat dari sisi yang lain lagi, yaitu karena ia
berkaitan dengan makna yang dimaksudkan, kaitan dan isyarat-nya. Inti
tingkatan mendengar ialah penyampaian maksud ke hati, yang berarti
harus ada penerimaan pendengaran. Berarti dalam tingkatan ini ada tiga
tingkatan lain: Telinga yang mendengar, hati yang mendengar dan
penerimaan atau pemenuhan.
Tingkatan Kesembilan:
Ilham. Allah befirma"Demi jiwa dan penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah
mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya."
(Asy-Syams: 7-8).
Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda kepada Hushain bin Al-
Mundzir saat dia masuk Islam,
􀏲􀎴􀏔􀏧􀀃􀎮􀎷􀀃􀏲􀏨􀏗􀏭􀀃􀏱􀎪􀎷􀎭􀀃􀏲􀏨􀏤􀏬􀏟􀎃􀀃􀏢􀏬􀏠􀏟􀎍􀀃􀏞􀏗
"Katakanlah, 'Ya Allah, ilhamkanlah kepadaku petunjukku dan
lindungilah aku dari kejahatan diriku."
Pengarang Manazilus-Sa'irin (Abu Ismail) menganggap ilham ini sama
kedudukannya dengan bisikan di dalam hati. Jadi ilham lebih tinggi daripada
firasat. Sebab boleh jadi firasat itu jarang-jarang terjadi atau bersifat
insidental dan pelakunya tidak bisa menentukan kapan waktunya atau
bahkan ia bisa mengecohnya. Sementara kedudukan ilham sudah jelas.
Saya katakan, bisikan di dalam hati lebih khusus daripada ilham. Ilham
bersifat umum bagi orang-orang Mukmin, tergantung pada iman mereka.
Setiap orang Mukmin mendapat ilham petunjuk dari Allah, yang
menghasilkan keimanan kepada-Nya. Sedangkan bisikan dalam hati ha-nya
dikhususkan bagi orang-orang yang memang mendapatkannya, se-perti
Umar bin Al-Khaththab. Jadi bisikan hati ini merupakan ilham khusus, atau
bisa dikatakan wahyu yang diberikan kepada selain para nabi, baik mukallaf
atau bukan mukallaf. Wahyu yang diberikan kepada mukallaf seperti firman
Allah,
􀋶􀏪􀏴􀋶􀏌􀋶􀎿􀋸􀎭􀋴􀎃􀀃􀋸􀏥􀋴􀎃􀀃􀏰􀋴􀎳􀏮􀋵􀏣􀀃􀍋􀏡􀋵􀎃􀀃􀏰􀋴􀏟􀋶􀎇􀀃􀎎􀋴􀏨􀋸􀏴􀋴􀎣􀋸􀏭􀋴􀎃􀋴􀏭
"Dan, Kami ilhamkan kepada ibu Musa, 'Susuilah dia'." (Al-Qashash:7).
Wahyu yang diberikan kepada yang bukan mukallaf,
􀋴􀎠􀍉􀎸􀏟􀎍􀀃􀋴􀏦􀋶􀏣􀋴􀏭􀀃􀋱􀎎􀎗􀏮􀋵􀏴􀋵􀎑􀀃􀋶􀏝􀎎􀋴􀎒􀋶􀎠􀋸􀏟􀎍􀀃􀋴􀏦􀋶􀏣􀀃􀏱􀋶􀎬􀋶􀎨􀍉􀎗􀎍􀀃􀋶􀏥􀋴􀎃􀀃􀋶􀏞􀎎􀀃􀍉􀏤􀋶􀏣􀋴􀏭􀀃􀋶􀎮 􀋸􀎤􀍉􀏨􀏟􀎍􀀃􀏰􀋴􀏟􀋶􀎇􀀃􀋴􀏚􀍊􀎑􀋴􀎭􀀃􀏰􀋴􀎣􀋸􀏭􀋴􀎃􀋴􀏭
􀋴􀏥􀏮􀋵􀎷􀋶􀎮􀋸􀏌􀋴􀏳
"Dan, Rabbmu mewahyukan kepada lebah, 'Buatlah sarang-sarang di
bukit-bukit, di pohon-pohon kayu dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia'."(An-Nahl: 68).
Jika ilham ini dianggap lebih tinggi daripada kedudukan firasat,
maka justru bisa melemahkan anggapan itu sendiri. Sebab seperti yang
sudah dikatakan di atas, firasat itu jarang-jarang terjadinya. Sementara
sesuatu yang jarang-jarang terjadi tidak mempunyai hukum. Jelasnya
tentang masalah ini, masing-masing dari firasat dan ilham dibagi menjadi
umum dan khusus. Yang khusus pada masing-masing lebih tinggi dari yang
umum pada selainnya. Tapi perbedaan yang jelas di antara kedua-nya,
firasat lebih berkaitan dengan satu jenis tindakan atau perbuatan,
sedangkan ilham murni pemberian, yang tidak bisa diperoleh dengan
tindakan atau usaha tertentu.
Tingkatan Kesepuluh:
Mimpi yang benar, yang merupakan satu bagian dari nubuwah, seperti
yang dikabarkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, beliau bersabda,
􀎓􀏮􀎒􀏨􀏟􀎍􀀃􀏦􀏣􀀃􀎍􀋯􀎰􀎟􀀃􀏦􀏴􀏌􀎑􀎭􀎃􀏭􀀃􀎔􀎘􀎳􀀃􀏦􀏣􀀃􀋯􀎰􀎟􀀃􀎔􀏗􀎩􀎎􀎼􀏟􀎍􀀃􀎎􀏳􀎅􀎮􀏟􀎍
"Mimpi yang benar itu merupakan satu bagian dari empat puluh enam
bagian dari nubuwah."
Tapi dalam riwayat lain yang shahih disebutkan merupakan satu
bagian dari tujuh puluh bagian dari nubuwah. Yang pasti, mimpi merupakan
permulaan wahyu. Kebenarannya tergantung kepada orang yang
bermimpi, dan mimpi yang paling benar ialah mimpinya orang yang perkataannya
paling benar dan jujur. Jika kiamat sudah dekat, maka hampir
tidak ada mimpi yang meleset, karena jaraknya yang jauh dari masa nubuwah.
Sementara pada masa nubuwah tidak membutuhkan mimpi-mimpi
yang benar ini, karena sudah ada kekuatan cahaya nubuwah.
Kebalikan dari mimpi yang benar ini adalah karamah yang muncul
setelah masa shahabat, namun tidak muncul pada masa dekatnya hari
kiamat. Hal ini disebabkan kuat dan lemahnya iman. Begitulah yang ditegaskan
Al-Imam Ahmad.
Ubadah bin Ash-Shamit berkata, "Mimpi orang Mukmin merupakan
perkataan yang disampaikan Allah kepada hamba-Nya ketika dia tidur."
Mimpi itu layaknya suatu pengungkapan, di antaranya ada yang
berasal dari Allah, ada yang berasal dari kejiwaan dan ada yang berasal
dari syetan, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
"Mimpi itu ada tiga macam: Mimpi dari Allah, mimpi sedih dari syetan
dan mimpi yang terbawa bisikan

Siapakah Wahhabi ???

23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
1
Siapakah Wahhabi ???
Oleh:
Al Ustadz Ruwaifi’ Bin Sulaimi Lc.
Pustaka al Bayat
www.wahonot.wordpress.com
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
2
Judul:
Siapakah Wahhabi ???
Oleh:
Al Ustadz Ruwaifi’ Bin Sulaimi Lc.
Pustaka al BAyaty
Silakan memperbanyak isi ebook ini dengan
syarat bukan untuk tujuan komersil, serta menyertakan sumbernya
Kunjungi: http://www.wahonot.wordpress.com
http://www.pustakaalbayaty.wordpress.com
Email: wahonot@yahoo.com
HP: 08121517653/08889594463/085659217364
Serial e‐book # 11
230608
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
3
Siapakah Wahhabi ???
Oleh : Al Ustadz Ruwaifi’ Bin Sulaimi Lc.
Selubung Makar di Balik Julukan Wahhabi
Di negeri kita bahkan hampir di seluruh dunia Islam, ada sebuah fenomena
‘timpang’ dan penilaian ‘miring’ terhadap dakwah tauhid yang dilakukan Asy‐
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab At‐Tamimi An‐Najdi rahimahullahu [1].
Julukan Wahhabi pun dimunculkan, tak lain tujuannya adalah untuk
menjauhkan umat darinya. Dari manakah julukan itu? Siapa pelopornya? Dan
apa rahasia di balik itu semua …?
Para pembaca, dakwah Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan
dakwah pembaharuan terhadap agama umat manusia. Pembaharuan, dari
syirik menuju tauhid dan dari bid’ah menuju As‐Sunnah. Demikianlah misi
para pembaharu sejati dari masa ke masa, yang menapak titian jalan Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya. Fenomena ini membuat
gelisah musuh‐musuh Islam, sehingga berbagai macam cara pun ditempuh
demi hancurnya dakwah tauhid yang diemban Asy‐Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Musuh‐musuh tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Di Najd dan sekitarnya:
Para ulama suu’ yang memandang al‐haq sebagai kebatilan dan kebatilan
sebagai al‐haq.
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
4
Orang‐orang yang dikenal sebagai ulama namun tidak mengerti tentang
hakekat Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
Orang‐orang yang takut kehilangan kedudukan dan jabatannya.
(Lihat Tash‐hihu Khatha’in Tarikhi Haula Al‐Wahhabiyyah, karya Dr.
Muhammad bin Sa’ad Asy‐Syuwai’ir hal.90‐91, ringkasan keterangan Asy‐
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz)
2. Di dunia secara umum:
Mereka adalah kaum kafir Eropa; Inggris, Prancis dan lain‐lain, Daulah
Utsmaniyyah, kaum Shufi, Syi’ah Rafidhah, Hizbiyyun dan pergerakan Islam;
Al‐Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, Al‐Qaeda, dan para kaki tangannya.
Bentuk permusuhan mereka beragam. Terkadang dengan fisik (senjata) dan
terkadang dengan fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya. Adapun
fisik (senjata), maka banyak diperankan oleh Dinasti Utsmani yang
bersekongkol dengan barat (baca: kafir Eropa) –sebelum keruntuhannya–.
Demikian pula Syi’ah Rafidhah dan para hizbiyyun. Sedangkan fitnah, tuduhan
dusta, isu negatif dan sejenisnya, banyak dimainkan oleh kafir Eropa melalui
para missionarisnya, kaum shufi, dan tak ketinggalan pula Syi’ah Rafidhah dan
hizbiyyun [2]. Dan ternyata, memunculkan istilah ‘Wahhabi’ sebagai julukan
bagi pengikut dakwah Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, merupakan
trik sukses mereka untuk menghempaskan kepercayaan umat kepada dakwah
tauhid tersebut. Padahal, istilah ‘Wahhabi’ itu sendiri merupakan penisbatan
yang tidak sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Asy‐Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
berkata: “Penisbatan (Wahhabi ‐pen) tersebut tidak sesuai dengan kaidah
bahasa Arab. Semestinya bentuk penisbatannya adalah ‘Muhammadiyyah’,
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
5
karena sang pengemban dan pelaku dakwah tersebut adalah Muhammad,
bukan ayahnya yang bernama Abdul Wahhab.” (Lihat Imam wa Amir wa
Da’watun Likullil ‘Ushur, hal. 162)
Tak cukup sampai di situ. Fitnah, tuduhan dusta, isu negatif dan sejenisnya
menjadi sejoli bagi julukan keji tersebut. Tak ayal, yang lahir adalah ‘potret’
buruk dan keji tentang dakwah Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab,
yang tak sesuai dengan realitanya. Sehingga istilah Wahhabi nyaris menjadi
momok dan monster yang mengerikan bagi umat. Fenomena timpang ini,
menuntut kita untuk jeli dalam menerima informasi. Terlebih ketika
narasumbernya adalah orang kafir, munafik, atau ahlul bid’ah. Agar kita tidak
dijadikan bulan‐bulanan oleh kejamnya informasi orang‐orang yang tidak
bertanggung jawab itu.
Meluruskan Tuduhan Miring tentang Wahhabi
1. Tuduhan: AsySyaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang
yang mengaku sebagai Nabi [3], ingkar terhadap Hadits nabi [4],
merendahkan posisi Nabi, dan tidak mempercayai syafaat beliau.
Bantahan:
Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah seorang yang sangat
mencintai Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini terbukti dengan adanya
karya tulis beliau tentang sirah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, baik
Mukhtashar Siratir Rasul, Mukhtashar Zadil Ma’ad Fi Hadyi Khairil ‘Ibad atau
pun yang terkandung dalam kitab beliau Al‐Ushul Ats‐Tsalatsah.
Beliau berkata: “Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah wafat –
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
6
semoga shalawat dan salam‐Nya selalu tercurahkan kepada beliau–, namun
agamanya tetap kekal. Dan inilah agamanya; yang tidaklah ada kebaikan
kecuali pasti beliau tunjukkan kepada umatnya, dan tidak ada kejelekan
kecuali pasti beliau peringatkan. Kebaikan yang telah beliau sampaikan itu
adalah tauhid dan segala sesuatu yang dicintai dan diridhai Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Sedangkan kejelekan yang beliau peringatkan adalah kesyirikan dan
segala sesuatu yang dibenci dan dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengutus beliau kepada seluruh umat manusia, dan
mewajibkan atas tsaqalain; jin dan manusia untuk menaatinya.” (Al‐Ushul Ats‐
Tsalatsah)
Beliau juga berkata: “Dan jika kebahagiaan umat terdahulu dan yang akan
datang karena mengikuti para Rasul, maka dapatlah diketahui bahwa orang
yang paling berbahagia adalah yang paling berilmu tentang ajaran para Rasul
dan paling mengikutinya. Maka dari itu, orang yang paling mengerti tentang
sabda para Rasul dan amalan‐amalan mereka serta benar‐benar mengikutinya,
mereka itulah sesungguhnya orang yang paling berbahagia di setiap masa dan
tempat. Dan merekalah golongan yang selamat dalam setiap agama. Dan dari
umat ini adalah Ahlus Sunnah wal Hadits.” (Ad‐Durar As‐Saniyyah, 2/21)
Adapun tentang syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka beliau berkata
–dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku beriman dengan syafaat
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan beliaulah orang pertama yang bisa
memberi syafaat dan juga orang pertama yang diberi syafaat. Tidaklah
mengingkari syafaat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini kecuali ahlul bid’ah
lagi sesat.” (Tash‐hihu Khatha’in Tarikhi Haula Al‐Wahhabiyyah, hal. 118)
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
7
2. Tuduhan: Melecehkan Ahlul Bait
Bantahan:
Beliau berkata dalam Mukhtashar Minhajis Sunnah: “Ahlul Bait Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai hak atas umat ini yang tidak dimiliki
oleh selain mereka. Mereka berhak mendapatkan kecintaan dan loyalitas yang
lebih besar dari seluruh kaum Quraisy…” (Lihat ‘Aqidah Asy‐Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab As‐Salafiyyah, 1/446)
Di antara bukti kecintaan beliau kepada Ahlul Bait adalah dinamainya putraputra
beliau dengan nama‐nama Ahlul Bait: ‘Ali, Hasan, Husain, Ibrahim dan
Abdullah.
3. Tuduhan: Bahwa beliau sebagai Khawarij, karena telah memberontak
terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. AlImam
AlLakhmi
telah berfatwa bahwa
AlWahhabiyyah
adalah salah satu dari kelompok sesat Khawarij
‘Ibadhiyyah, sebagaimana disebutkan dalam kitab AlMu’rib
Fi Fatawa
Ahlil Maghrib, karya Ahmad bin Muhammad AlWansyarisi,
juz 11.
Bantahan:
Adapun pernyataan bahwa Asy‐Syaikh telah memberontak terhadap Daulah
Utsmaniyyah, maka ini sangat keliru. Karena Najd kala itu tidak termasuk
wilayah teritorial kekuasaan Daulah Utsmaniyyah [5]. Demikian pula sejarah
mencatat bahwa kerajaan Dir’iyyah belum pernah melakukan upaya
pemberontakan terhadap Daulah ‘Utsmaniyyah. Justru merekalah yang
berulang kali diserang oleh pasukan Dinasti Utsmani. Lebih dari itu Asy‐Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab mengatakan –dalam kitabnya Al‐Ushulus
Sittah–: “Prinsip ketiga: Sesungguhnya di antara (faktor penyebab)
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
8
sempurnanya persatuan umat adalah mendengar lagi taat kepada pemimpin
(pemerintah), walaupun pemimpin tersebut seorang budak dari negeri
Habasyah.”Dari sini nampak jelas, bahwa sikap Asy‐Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab terhadap waliyyul amri (penguasa) sesuai dengan ajaran
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan bukan ajaran Khawarij.
Mengenai fatwa Al‐Lakhmi, maka yang dia maksudkan adalah Abdul Wahhab
bin Abdurrahman bin Rustum dan kelompoknya, bukan Asy‐Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya. Hal ini karena tahun
wafatnya Al‐Lakhmi adalah 478 H, sedangkan Asy‐Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab wafat pada tahun 1206 H /Juni atau Juli 1792 M. Amatlah
janggal bila ada orang yang telah wafat, namun berfatwa tentang seseorang
yang hidup berabad‐abad setelahnya. Adapun Abdul Wahhab bin
Abdurrahman bin Rustum, maka dia meninggal pada tahun 211 H. Sehingga
amatlah tepat bila fatwa Al‐Lakhmi tertuju kepadanya. Berikutnya, Al‐Lakhmi
merupakan mufti Andalusia dan Afrika Utara, dan fitnah Wahhabiyyah
Rustumiyyah ini terjadi di Afrika Utara. Sementara di masa Al‐Lakhmi,
hubungan antara Najd dengan Andalusia dan Afrika Utara amatlah jauh.
Sehingga bukti sejarah ini semakin menguatkan bahwa Wahhabiyyah Khawarij
yang diperingatkan Al‐Lakhmi adalah Wahhabiyyah Rustumiyyah, bukan Asy‐
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan para pengikutnya [6].
Lebih dari itu, sikap Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab terhadap
kelompok Khawarij sangatlah tegas. Beliau berkata –dalam suratnya untuk
penduduk Qashim–: “Golongan yang selamat itu adalah kelompok pertengahan
antara Qadariyyah dan Jabriyyah dalam perkara taqdir, pertengahan antara
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
9
Murji’ah dan Wa’idiyyah (Khawarij) dalam perkara ancaman Allah Subhanahu
wa Ta’ala, pertengahan antara Haruriyyah (Khawarij) dan Mu’tazilah serta
antara Murji’ah dan Jahmiyyah dalam perkara iman dan agama, dan
pertengahan antara Syi’ah Rafidhah dan Khawarij dalam menyikapi para
shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat Tash‐hihu Khatha’in
Tarikhi Haula Al‐Wahhabiyyah, hal 117). Dan masih banyak lagi pernyataan
tegas beliau tentang kelompok sesat Khawarij ini.
4. Tuduhan: Mengkafirkan kaum muslimin dan menghalalkan darah
mereka.[7]
Bantahan:
Ini merupakan tuduhan dusta terhadap Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul
Wahhab, karena beliau pernah mengatakan: “Kalau kami tidak (berani)
mengkafirkan orang yang beribadah kepada berhala yang ada di kubah
(kuburan/ makam) Abdul Qadir Jaelani dan yang ada di kuburan Ahmad Al‐
Badawi dan sejenisnya, dikarenakan kejahilan mereka dan tidak adanya orang
yang mengingatkannya. Bagaimana mungkin kami berani mengkafirkan orang
yang tidak melakukan kesyirikan atau seorang muslim yang tidak berhijrah ke
tempat kami…?! Maha suci Engkau ya Allah, sungguh ini merupakan kedustaan
yang besar.” (Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa
Muftara ‘Alaihi, hal. 203)
5. Tuduhan: Wahhabiyyah adalah madzhab baru dan tidak mau
menggunakan kitabkitab
empat madzhab besar dalam Islam.[8]
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
10
Bantahan:
Hal ini sangat tidak realistis. Karena beliau mengatakan –dalam suratnya
kepada Abdurrahman As‐Suwaidi–: “Aku kabarkan kepadamu bahwa aku –
alhamdulillah– adalah seorang yang berupaya mengikuti jejak Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bukan pembawa aqidah baru. Dan agama yang
aku peluk adalah madzhab Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dianut para ulama
kaum muslimin semacam imam yang empat dan para pengikutnya.” (Lihat
Tash‐hihu Khatha’in Tarikhi Haula Al‐Wahhabiyyah, hal. 75)
Beliau juga berkata –dalam suratnya kepada Al‐Imam Ash‐Shan’ani–:
“Perhatikanlah –semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala merahmatimu– apa yang
ada pada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat sepeninggal
beliau dan orang‐orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari
kiamat. Serta apa yang diyakini para imam panutan dari kalangan ahli hadits
dan fiqh, seperti Abu Hanifah, Malik, Asy‐Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal –
semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala meridhai mereka–, supaya engkau bisa
mengikuti jalan/ ajaran mereka.” (Ad‐Durar As‐Saniyyah 1/136)
Beliau juga berkata: “Menghormati ulama dan memuliakan mereka meskipun
terkadang (ulama tersebut) mengalami kekeliruan, dengan tidak menjadikan
mereka sekutu bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan jalan orang‐orang
yang diberi nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Adapun mencemooh
perkataan mereka dan tidak memuliakannya, maka ini merupakan jalan orangorang
yang dimurkai Allah Subhanahu wa Ta’ala (Yahudi).” (Majmu’ah Ar‐
Rasa’il An‐Najdiyyah, 1/11‐12. Dinukil dari Al‐Iqna’, karya Asy‐Syaikh
Muhammad bin Hadi Al‐Madkhali, hal.132‐133)
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
11
6. Tuduhan: Keras dalam berdakwah (inkarul munkar)
Bantahan:
Tuduhan ini sangat tidak beralasan. Karena justru beliaulah orang yang sangat
perhatian dalam masalah ini. Sebagaimana nasehat beliau kepada para
pengikutnya dari penduduk daerah Sudair yang melakukan dakwah (inkarul
munkar) dengan cara keras. Beliau berkata: “Sesungguhnya sebagian orang
yang mengerti agama terkadang jatuh dalam kesalahan (teknis) dalam
mengingkari kemungkaran, padahal posisinya di atas kebenaran. Yaitu
mengingkari kemungkaran dengan sikap keras, sehingga menimbulkan
perpecahan di antara ikhwan… Ahlul ilmi berkata: ‘Seorang yang beramar
ma’ruf dan nahi mungkar membutuhkan tiga hal: berilmu tentang apa yang
akan dia sampaikan, bersifat belas kasihan ketika beramar ma’ruf dan nahi
mungkar, serta bersabar terhadap segala gangguan yang menimpanya.’ Maka
kalian harus memahami hal ini dan merealisasikannya. Sesungguhnya
kelemahan akan selalu ada pada orang yang mengerti agama, ketika tidak
merealisasikannya atau tidak memahaminya. Para ulama juga menyebutkan
bahwasanya jika inkarul munkar akan menyebabkan perpecahan, maka tidak
boleh dilakukan. Aku mewanti‐wanti kalian agar melaksanakan apa yang telah
kusebutkan dan memahaminya dengan sebaik‐baiknya. Karena, jika kalian
tidak melaksanakannya niscaya perbuatan inkarul munkar kalian akan
merusak citra agama. Dan seorang muslim tidaklah berbuat kecuali apa yang
membuat baik agama dan dunianya.”(Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab, hal.
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
12
176)
7. Tuduhan: Muhammad bin Abdul Wahhab itu bukanlah seorang yang
berilmu. Dia belum pernah belajar dari para syaikh, dan mungkin saja
ilmunya dari setan![9]
Jawaban:
Pernyataan ini menunjukkan butanya tentang biografi Asy‐Syaikh, atau purapura
buta dalam rangka penipuan intelektual terhadap umat.
Bila ditengok sejarahnya, ternyata beliau sudah hafal Al‐Qur’an sebelum
berusia 10 tahun. Belum genap 12 tahun dari usianya, sudah ditunjuk sebagai
imam shalat berjamaah. Dan pada usia 20 tahun sudah dikenal mempunyai
banyak ilmu. Setelah itu rihlah (pergi) menuntut ilmu ke Makkah, Madinah,
Bashrah, Ahsa’, Bashrah (yang kedua kalinya), Zubair, kemudian kembali ke
Makkah dan Madinah. Gurunya pun banyak [10], di antaranya adalah:
Di Najd: Asy‐Syaikh Abdul Wahhab bin Sulaiman [11] dan Asy‐Syaikh Ibrahim
bin Sulaiman [12].
Di Makkah: Asy‐Syaikh Abdullah bin Salim bin Muhammad Al‐Bashri Al‐Makki
Asy‐Syafi’i [13].
Di Madinah: Asy‐Syaikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif [14]. Asy‐Syaikh
Muhammad Hayat bin Ibrahim As‐Sindi Al‐Madani [15], Asy‐Syaikh Isma’il bin
Muhammad Al‐Ajluni Asy‐Syafi’i [16], Asy‐Syaikh ‘Ali Afandi bin Shadiq Al‐
Hanafi Ad‐Daghistani [17] , Asy‐Syaikh Abdul Karim Afandi, Asy‐Syaikh
Muhammad Al Burhani, dan Asy‐Syaikh ‘Utsman Ad‐Diyarbakri.
Di Bashrah: Asy‐Syaikh Muhammad Al‐Majmu’i [18]. Di Ahsa’: Asy‐Syaikh
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
13
Abdullah bin Muhammad bin Abdul Lathif Asy‐Syafi’i.
8. Tuduhan: Tidak menghormati para wali Allah, dan hobinya
menghancurkan kubah/ bangunan yang dibangun di atas makam
mereka.
Jawaban:
Pernyataan bahwa Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab tidak
menghormati para wali Allah Subhanahu wa Ta’ala, merupakan tuduhan dusta.
Beliau berkata –dalam suratnya kepada penduduk Qashim–: “Aku menetapkan
(meyakini) adanya karamah dan keluarbiasaan yang ada pada para wali Allah
Subhanahu wa Ta’ala, hanya saja mereka tidak berhak diibadahi dan tidak
berhak pula untuk diminta dari mereka sesuatu yang tidak dimampu kecuali
oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[19]
Adapun penghancuran kubah/bangunan yang dibangun di atas makam
mereka, maka beliau mengakuinya –sebagaimana dalam suratnya kepada para
ulama Makkah–.[20] Namun hal itu sangat beralasan sekali, karena kubah/
bangunan tersebut telah dijadikan sebagai tempat berdoa, berkurban dan
bernadzar kepada selain Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sementara Asy‐Syaikh
sudah mendakwahi mereka dengan segala cara, dan beliau punya kekuatan
(bersama waliyyul amri) untuk melakukannya, baik ketika masih di ‘Uyainah
ataupun di Dir’iyyah.
Hal ini pun telah difatwakan oleh para ulama dari empat madzhab.
Sebagaimana telah difatwakan oleh sekelompok ulama madzhab Syafi’i seperti
Ibnul Jummaizi, Azh‐Zhahir At‐Tazmanti dll, seputar penghancuran bangunan
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
14
yang ada di pekuburan Al‐Qarrafah Mesir. Al‐Imam Asy‐Syafi’i sendiri berkata:
“Aku tidak menyukai (yakni mengharamkan) pengagungan terhadap makhluk,
sampai pada tingkatan makamnya dijadikan sebagai masjid.” Al‐Imam An‐
Nawawi dalam Syarhul Muhadzdzab dan Syarh Muslim mengharamkam secara
mutlak segala bentuk bangunan di atas makam. Adapun Al‐Imam Malik, maka
beliau juga mengharamkannya, sebagaimana yang dinukilkan oleh Ibnu Rusyd.
Sedangkan Al‐Imam Az‐Zaila’i (madzhab Hanafi) dalam Syarh Al‐Kanz
mengatakan: “Diharamkan mendirikan bangunan di atas makam.” Dan juga Al‐
Imam Ibnul Qayyim (madzhab Hanbali) mengatakan: “Penghancuran kubah/
bangunan yang dibangun di atas kubur hukumnya wajib, karena ia dibangun di
atas kemaksiatan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Lihat
Fathul Majid Syarh Kitabit Tauhid karya Asy‐Syaikh Abdurrahman bin Hasan
Alusy‐Syaikh, hal.284‐286)
Para pembaca, demikianlah bantahan ringkas terhadap beberapa tuduhan
miring yang ditujukan kepada Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab.
Untuk mengetahui bantahan atas tuduhan‐tuduhan miring lainnya, silahkan
baca karya‐karya tulis Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, kemudian
buku‐buku para ulama lainnya seperti:
Ad‐Durar As‐Saniyyah fil Ajwibah An‐Najdiyyah, disusun oleh Abdurrahman
bin Qasim An‐Najdi
Shiyanatul Insan ‘An Waswasah Asy‐Syaikh Dahlan, karya Al‐‘Allamah
Muhammad Basyir As‐Sahsawani Al‐Hindi.
Raddu Auham Abi Zahrah, karya Asy‐Syaikh Shalih bin Fauzan Al‐Fauzan,
demikian pula buku bantahan beliau terhadap Abdul Karim Al‐Khathib.
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
15
Muhammad bin Abdul Wahhab Mushlihun Mazhlumun Wa Muftara ‘Alaihi,
karya Al‐Ustadz Mas’ud An‐Nadwi.
‘Aqidah Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab As Salafiyyah, karya Dr.
Shalih bin Abdullah Al‐’Ubud.
Da’watu Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Bainal Mu’aridhin wal
Munshifin wal Mu’ayyidin, karya Asy‐Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, dan
sebagainya.
Barakah Dakwah AsySyaikh
Muhammad bin Abdul Wahhab
Dakwah Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merupakan dakwah yang
penuh barakah. Buahnya pun bisa dirasakan hampir di setiap penjuru dunia
Islam, bahkan di dunia secara keseluruhan.
Di Jazirah Arabia [21]
Di Jazirah Arabia sendiri, pengaruhnya luar biasa. Berkat dakwah tauhid ini
mereka bersatu yang sebelumnya berpecah belah. Mereka mengenal tauhid,
ilmu dan ibadah yang sebelumnya tenggelam dalam penyimpangan, kebodohan
dan kemaksiatan. Dakwah tauhid juga mempunyai peran besar dalam
perbaikan akhlak dan muamalah yang membawa dampak positif bagi Islam itu
sendiri dan bagi kaum muslimin, baik dalam urusan agama ataupun urusan
dunia mereka. Berkat dakwah tauhid pula tegaklah Daulah Islamiyyah (di
Jazirah Arabia) yang cukup kuat dan disegani musuh, serta mampu
menyatukan negeri‐negeri yang selama ini berseteru di bawah satu bendera.
Kekuasaan Daulah ini membentang dari Laut Merah (barat) hingga Teluk Arab
(timur), dan dari Syam (utara) hingga Yaman (selatan), daulah ini dikenal
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
16
dalam sejarah dengan sebutan Daulah Su’udiyyah I. Pada tahun 1233 H/1818
M daulah ini diporak‐porandakan oleh pasukan Dinasti Utsmani yang dipimpin
Muhammad ‘Ali Basya. Pada tahun 1238 H/1823 M berdiri kembali Daulah
Su’udiyyah II yang diprakarsai oleh Al‐Imam Al‐Mujahid Turki bin Abdullah bin
Muhammad bin Su’ud, dan runtuh pada tahun 1309 H/1891 M. Kemudian pada
tahun 1319 H/1901 M berdiri kembali Daulah Su’udiyyah III yang diprakarsai
oleh Al‐Imam Al‐Mujahid Abdul ‘Aziz bin Abdurrahman bin Faishal bin Turki
Alu Su’ud. Daulah Su’udiyyah III ini kemudian dikenal dengan nama Al‐
Mamlakah Al‐’Arabiyyah As‐Su’udiyyah, yang dalam bahasa kita biasa disebut
Kerajaan Saudi Arabia. Ketiga daulah ini merupakan daulah percontohan di
masa ini dalam hal tauhid, penerapan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan syariat Islam, keamanan, kesejahteraan dan perhatian terhadap
urusan kaum muslimin dunia (terkhusus Daulah Su’udiyyah III). Untuk
mengetahui lebih jauh tentang perannya, lihatlah kajian utama edisi
ini/Barakah Dakwah Tauhid.
Di Dunia Islam [22]
Dakwah tauhid Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab merambah dunia
Islam, yang terwakili pada Benua Asia dan Afrika, barakah Allah Subhanahu wa
Ta’ala pun menyelimutinya. Di Benua Asia dakwah tersebar di Yaman, Qatar,
Bahrain, beberapa wilayah Oman, India, Pakistan dan sekitarnya, Indonesia,
Turkistan, dan Cina. Adapun di Benua Afrika, dakwah Tauhid tersebar di Mesir,
Libya, Al‐Jazair, Sudan, dan Afrika Barat. Dan hingga saat ini dakwah terus
berkembang ke penjuru dunia, bahkan merambah pusat kekafiran Amerika
dan Eropa.
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
17
Pujian Ulama Dunia terhadap Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan
Dakwah Beliau
Pujian ulama dunia terhadap Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan
dakwahnya amatlah banyak. Namun karena terbatasnya ruang rubrik,
cukuplah disebutkan sebagiannya saja.[23]
1. Al‐Imam Ash‐Shan’ani (Yaman).
Beliau kirimkan dari Shan’a bait‐bait pujian untuk Asy‐Syaikh Muhammad bin
Abdul Wahhab dan dakwahnya. Bait syair yang diawali dengan:
Salamku untuk Najd dan siapa saja yang tinggal sana. Walaupun salamku dari
kejauhan belum mencukupinya.
2. Al‐Imam Asy‐Syaukani rahimahullahu (Yaman). Ketika mendengar wafatnya
Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, beliau layangkan bait‐bait pujian
terhadap Asy‐Syaikh dan dakwahnya. Di antaranya:
Telah wafat tonggak ilmu dan pusat kemuliaan. Referensi utama para
pahlawan dan orang‐orang mulia. Dengan wafatnya, nyaris wafat pula ilmuilmu
agama. Wajah kebenaran pun nyaris lenyap ditelan derasnya arus sungai.
3. Muhammad Hamid Al‐Fiqi (Mesir). Beliau berkata: “Sesungguhnya amalan
dan usaha yang beliau lakukan adalah untuk menghidupkan kembali semangat
beramal dengan agama yang benar dan mengembalikan umat manusia kepada
apa yang telah ditetapkan dalam Al‐Qur’an…. dan apa yang dibawa Rasulullah
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik
18
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta apa yang diyakini para shahabat, para tabi’in
dan para imam yang terbimbing.”
4. Dr. Taqiyuddin Al‐Hilali (Irak). Beliau berkata: “Tidak asing lagi bahwa Al‐
Imam Ar‐Rabbani Al‐Awwab Muhammad bin Abdul Wahhab, benar‐benar telah
menegakkan dakwah tauhid yang lurus. Memperbaharui (kehidupan umat
manusia) seperti di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
shahabatnya. Dan mendirikan daulah yang mengingatkan umat manusia
kepada daulah di masa Al‐Khulafa’ Ar‐Rasyidin.”
5. Asy‐Syaikh Mulla ‘Umran bin ‘Ali Ridhwan (Linjah, Iran). Beliau –ketika
dicap sebagai Wahhabi– berkata:
Jikalau mengikuti Ahmad dicap sebagai Wahhabi. Maka kutegaskan bahwa aku
adalah Wahhabi. Kubasmi segala kesyirikan dan tiadalah ada bagiku Rabb
selain Allah Dzat Yang Maha Tunggal lagi Maha Pemberi.
6. Asy‐Syaikh Ahmad bin Hajar Al‐Buthami (Qatar). Beliau berkata:
“Sesungguhnya Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab An‐Najdi adalah
seorang da’i tauhid, yang tergolong sebagai pembaharu yang adil dan
pembenah yang ikhlas bagi agama umat.”
7. Al ‘Allamah Muhammad Basyir As‐Sahsawani (India). Kitab beliau Shiyanatul
Insan ‘An Waswasah Asy‐Syaikh Dahlan, sarat akan pujian dan pembelaan
terhadap Asy‐Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan dakwahnya.
8. Asy‐Syaikh Muhammad Nashiruddin Al‐Albani (Syam). Beliau berkata: “Dari
apa yang telah lalu, nampaklah kedengkian yang sangat, kebencian durjana,
23 Juni 2008
18 Jumadil
Akhir 1429 H
www.wahonot.wordpress.com
Al Ghuroba’ meniti jejak generasi terbaik

Jumat, 10 Mei 2013

kenapa manusia diciptakan hidup lalu mati

lihat oleh anda alquran surat adz dzaariyaat ayat 56

Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-KU

Sekuat apapun manusia di dunia
Sehebat apapun manusia
 Walau mempuyai kekayaan dunia
Tidak akan pernah bisa lari dari kematian sedikitpun